MAKALAH
“METODOLOGI STUDI
ISLAM”
Disusun Oleh :
- Batara Surya Pratama
Dosen Pembimbing
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN JURAI SIWO METRO
2011 / 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah
“Metodologi Study Islam” ini
dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data
sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Metodologi Study Islam , serta infomasi dari media massa yang
berhubungan dengan Metodologi
Study Islam, tak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Pancasila atas bimbingan dan
arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan
kita mengenai Metodologi
Study Islam,
khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah
yang lebih baik.
Metro, Oktober 2011
Penulis
BAB 1
Pembahasan Materi
ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
A. Persentuhan
Islam Degan Kebudayaan Melayu Dan Jawa.
Dalam
ajaran islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran
bahwa tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan
diri sepenuhnya kepadaNya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur
dengan penjelasan yang berbeda. Di pesantren pesantren tradisional salafi,
kalimat laa ilaaha illa Allah sering di
tafsirkan sebagai berikut:
Petama La
Maujud illa Allah ( tidak ada yang wujud selain Allah ).
Kedua La Ma’bud
illa Allah ( tidak ada yang disembah kecuali Allah ).
Ketiga La
Masashqud illa Allah ( tidak ada yang dimaksud kecuali Allah ).
Keempat La
Mathlub illa Allah ( tidak ada yang diminta kecuali Allah ).
Konsep
mengenai kehidupan dalam islam adalah konsep teometris, yaitu bahwa seluruh
kehidupan berpusat pada tuhan. Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada
manusia (QS Al-Anshor : 2&3). Dikatakan bahwa manusia berada dalam kerugian
kecuali orang-oranng yang beriman dan beramal shaleh. Oleh karena itu, antara
iaman (yang teosentris) dan amal shaleh (yang antroposentris) tidak dapat di
pisahkan.
Indonesia
pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan keraton dan
kebudayaan populer. Dua kebudayaan ini sering di sebut kebudayaan Tradisional. Dalam
sastra kerajaan mitos-mitos di himpun dalam babad, hikayat, dan lontara. Hampir
semua mitos berisi tentang kesaktian raja,atau kwalitas suprainsani raja. Efek
yang hendak di capai adalah agar rakyat loyal terhadap kekuasaan raja.
Konsep
kekuasaan jawa berbeda dengan konsep kekuasaan ialam. Dalam kebudayaan jawa
dikenal konsep Raja Absolut, islam justru mengutamakan konsep Raj Adil , Al
Malik Al-Adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu di catat adlah budaya keraton
di luar jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan islam. Kebudayaan
keraton di jawa mementingkan kemutlakan raja untuk tertib sosial, sedangkan
islam mementingkan hukum yang adil untuk tegaknya ketertiban sosial.
Pengaruh islam dalam kebudayaan
dapat dilihat dalam ekspresi ritual seperti upacara “Pengiwahan” agar manusia
menjadi mulia atau wiwoho di adakanlah upacara kelahiran , perkawinan dan
kematian. Selain itu budaya islam dapat dilihat dalam acara maulid, seni musik
qasidah dan gambus.
B. Islam
dan Adat Melayu di Sulawesi Selatan dan Aceh.
Pengaruh islam dalam budaya Sulawesi
Selatan antara lain tergambarkan dalam Sulapu Eppae ( peptah orang tua
kepada anaknya,yang hendak merantau). Halide
menjelaskan bahwa Sulapaa Eppae mengandung ajaran kepemimpinan. Seorang
pemimpin akan sukses bila memilki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar,
berani, adil, ilmuan, dan hartawan.
Abu Bakar Ash –Shiddiq
adalah simbol kejujuran, kebijksanaan dan kesabaran. Umar bin khattab adalah
simbol keberanian dan keadilan.
Ali bin abi thalib adalah simbol
ilmuan. Dan Utsman bin Affan adalah simbol hartawan.
Salah satu yang menarik dari artikel yang
di tulis oleh Halide adalah peranan kitab berjanji, kitab gubahan, Syeikh
Ja’far Al Barjanji ini dinilai berperan penting dalam kehidupan masyarakat
sulawesi selatan. Ia selalu di baca dalam upacara perkawinan, memasuki rumah
baru, melahirkan ank, khataman Al Quran dan terutama peringatan mauliad nabi
Muhammad SAW.
Kesenian aceh telah terpadu dengan islam dan terwujud dalam berbagai
cabang., yakni sastra, seni tai, seni bangunan, dan seni pahat, seni tari dan
musik. Kebudayaan melayu lebih mudah menerima islam, sedangkan budaya jawa yang
oleh Kuntowijoyo di bagi menjdi dua:
Budaya keraton,dan budaya populercenderung
berwajah ganda, terutama budaya keraton dalam menerima isalm.budaya keraton
jawa yang mewarisi tradisi Hindu Budha yang berintegrasi dengan budaya islam
sehingga para ahli dalem membuat silsilah yang membuktikan bahwa raja adalah
keturunan dewa. Dan di sisi lain mereka mengaku keturunan para nabi. Lebih dari
itu raja di jawa ada yang mengaku sebagai wakil tuhan untuk menanamkan
loyalitas rakyat.
ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM
1. Aliran
Kalam.
A. Khawarij
Yaitu kelompok umat islam yang membelot
(keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib), mereka menarik dukunganya terhadap
ali dan bersikap menentang terhadap Ali dan Muawiyyah bin Abi Sofyan. Kelompok
di pelopori oleh ‘Atab bin Anwar dan ‘Urwah bin Jarir. Pada awalnya Khawarij
merupakan aliran atau fraksi politik, karena pada dasarnya kelompok itu
terbentuk karena persoalan kepemimpinan uamt islam. Akan tetapi mereka
membentuk suatu ajaran yang kemudia menjadi ciri utama aliran mereka, yaitu
tentang peleku ajaran dosa besar.Menurut khawarij orang-orang yang terlibat dan
menyetujui hasil tahkim telah melakukan doso besarberarti telah kafir dan
pantas dibunuh.
Oleh karena itu mereka memmutuskan untuk
membunuh Ali, dan Muawiyyah, Abu Musa Al-Asyari, Amr bin Ash dan sahabat sahabat yang menyetujui
tahkim. Namun yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Dan bagi
mereka pembunuhan terhadap orang-orang kafir
adalah ibadah.
B. Murji’ah
Sebagian uamat islam khwatir terhadap
gagasan khawaruj.sehingga sebagian ulama bersikap netral secara politik dan
tidak mau mengkhawatirkan para sahabat yang terlibat dan menyetujui tahlim.
Umat islam yang tergabung dalam kelompok ini kemudian di kenal dengan
Murji’ah.dalam ajaran utama aliran murji’ah orang islam yang melakukan dosa
besar tidak boleh fi hukumi (ditentukan ) kedudukanya dengan hukum dunia,
mereka tidak boleh di tentukan akan tinggal di neraka atau di syurga, kedudukan
mereka di tentukan dengan hukum akhirat. Menurut Murji’ah. Iman itu tidak
bertambah dan tidak berkurang.
C. Qodariyah
Yaitu manusia yang memiliki kemerdekaan
dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham ini manusia
mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatanya
danmemandang bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya
dan mewujudkan perbuatanya. Pertama kalli di perkenalkan oleh Ma’bad Al-Juhani
yang wafat terbunuh dalam perang melawan kekuasaan bani umayyah.
D. Jabariyah
Bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan
itu maha kuasa. Karena itu , maka tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup
manusia dan yang mewujudkan perbuatanya. Menurut aliran ini, manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan
perbuatanya. Mereka hidup dalam keterpaksaan. Diajarkan pertama kali oleh
Al-Jad bin Dirham.
Aliran kalam terakhir yang di kemukakan Taimiah aliran salafi.aliran ini tidak selamanya sejalan dengan
gagasan-gagasan Imam Al-Asy’ari, terutama karena aliran ahli Sunnah wal Jama’ah
menggunakan logika dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi
menhendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki ole unsur-unsur Ra’y.
2. Aliran
Fiqh
Secara historis, hukum islam telah menjadi
dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Madrasat Al Madinah dan
Madrasat Al Bghdad. Sedangkan ibnu Al Qoyyim Al Jauziyyah menyebutnya sebagai
Ahl Alma’na.
a)
Madrasat Al Madinah
Terbentuk karena sahabat-sahabat tinggal
di Madinah.atas sahabat Nabi Muhammad yang tinggal di Madinah, maka
terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan
guru-gurunya dari kalangan sahabat.diantaranya adalah Said bin Al Musayyab.
b)
Madrasat Al Baghdad
jasa sahabat Nabi Muhammad yang tinggal di
baghdad maka terbentuklah aliran Ra’yu. Sahabat yang tinggal di kuffah
diantaranya Abd Allah bin Mas’ud. Salah satu fikih abu hanafi adalah sangat ketat dalam
penerimaan hadits dan banyak mengunakan Ra’y.
Aliran-aliran hukum
islam antara lain, yaitu Madrasat Madinah, Kuffah, Aliran Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hnbali, Zhahiriyyah,dan aliran Jaririyyah. Tidak terdapat
informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum islam, karena banyak aliran
yang muncul kemudian menghilang karena tidak
ada yang mengembangkanya.aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada
pengikutnya hingga sekarang hanya ada beberapa aliran yakni: Malikiyyah,
Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanbaliyyah.
3. Aliran-aliran
Tasawuf
Ajaran tasawuf atau mistik islam pada
dasarnya merupakan sebuah pengalaman (Al Tajribah) spiritual yang bersifat
pribadi. Dalam Tasawuf terdapat petunjuk yang bersifat umum tentang Mukamat dan
Ahwal.
Para penulis ajaran Tasawuf, termasuk Harun Nasution, memperkirakan
adanya unsur-unsur ajaran non islam yang mempengaruhi ajaran taswuf. Terlepas
dari ada tidaknya pengaruh Kristen, Hindu, Filsafat Phitagoras, dan Filsafat
Emanasi Platinus, yang jelas antara ajaran-ajaran tasawuf dengan ajaran
tersebut terdapat kesamaan-kesamaan.
Pada dasarnya Tasawuf merupakan ajaran
yang membicarakan kedekatan antar Sufi (Manusia) dengan Allah.pada Awalnya
Tasawuf merrupakan ajaran tentang Al Zuhd (juhud).
Oleh karena itu, pelakunya di
sebut Zahid (asetic).namun kemudian namanya di ubah menjadi Tasawuf dan
pelakunya disebut Sufi.
Metode Tasawuf ada 3,
yaitu:
1)
Tahali
Yaitu pengisian diri untuk mendekatkan
diri kepada Allah.
2)
Takhali
Yaitu pengosongan diri Sufi.
3)
Tajjali
Adalah Mukhasyafah, Ma’rifah, dan
Musyadah. Suatu keadaan mental yang diperoleh manusia tanpa bisa di usahakan,
disebut hal atau ahwal. Ahwal adalah suatu keadaan Sufi yang sangat dekat dan
bahkan menyatu dengan tuhan. Rabi’ah merumuskan kedekatanya dengan tuhan dalam
Mahabbah, Yazid Al Bustomi merumuskan dalam Al Ijtihad, Al Halaj, merumuskanya
dalam Hulul Al Ghazali merumuskanya dalam hulul, dan Al Ghazali merumuskanya
dalam Ma’rifah.dengan demikian ada timbal balik antara Sufi dengan Tuhan.
Ketahuilah,
menghiasi diri dengan akhlak yang baik termasuk unsur-unsur ketakwaan, dan
tidak sempurna ketakwaan seseorang itu kecuali dengan akhlak yang baik.
Wallahu
waliyyut taufiq.
1.
Berhati-hatilah terhadap buruk sangka. Sesungguhnya buruk sangka adalah ucapan
yang paling bodoh. (HR. Bukhari)
2. Makar,
tipu muslihat dan pengkhianatan rnenyeret pelakunya ke neraka. (HR. Abu Dawud)
3. Orang yang paling dibenci Allah
ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam. (HR. Bukhari)
4. Bila hilang budaya malumu lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki. (HR.
Bukhari)
5.
Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji, yang berkata kotor dan membenci orang
yang meminta-minta dengan memaksa. (AR. Ath-Thahawi)
6.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai banyak bicara, menghambur-hamburkan harta dan
terlalu banyak bertanya. (HR. Bukhari)
7. Semua
(dosa) umatku akan diampuni kecuali orang yang berbuat (dosa) terang-terangan,
yaitu yang melakukan perbuatan dosa pada malam hari lalu Allah
menutup-nutupinya kemudian pada esok harinya dia bercerita kepada kawannya,
“Tadi malam aku berbuat begini…begini…” Lalu dia membongkar rahasia yang telah
ditutup-tutupi Allah ‘Azza wajalla. (Mutafaq’alaih)
8.
Barangsiapa mengintai-ngintai (menyelidiki) keburukan saudaranya semuslim maka
Allah akan mengintai-intai keburukannya. Barangsiapa diintai keburukannya oleh
Allah maka Allah akan mengungkitnya (membongkarnya) walaupun dia melakukan itu
di dalam (tengah-tengah) rumahnya. (HR. Ahmad)
9.
Sesungguhnya bila kamu mengintai-intai keburukan orang maka kamu telah merusak
mereka atau hampir merusak mereka. (HR. Ahmad)
10. Di
antara tanda-tanda kesengsaraan adalah mata yang beku, hati yang kejam, dan
terlalu memburu kesenangan dunia serta orang yang terus-menerus melakukan
perbuatan dosa. (HR. Al Hakim)
11. Tahukah
kamu siapa orang yang bangkrut? Para sahabat
menjawab, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.” Nabi Saw lalu berkata, ”
Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah (orang) yang datang pada
hari kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah
mencaci-maki orang ini dan menuduh orang itu berbuat zina. Dia pernah memakan
harta orang itu lalu dia menanti orang ini menuntut dan mengambil pahalanya
(sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya. Bila pahala-pahalanya
habis sebelum selesai tuntutan dan ganti tebusan atas dosa-dosanya maka dosa
orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya lalu dia dihempaskan
ke api neraka.” (HR. Muslim)
12. Sesungguhnya Allah membenci orang
yang selalu berwajah muram di hadapan kawan-kawannya. (HR. Ad-Dailami)
13. Sesungguhnya orang yang paling
buruk kedudukannya di sisi Allah ialah yang dijauhi manusia karena ditakuti
kejahatannya. (Mutafaq’alaih)
14. Dua sifat tidak akan bertemu dalam
diri seorang mukmin yaitu kikir (bakhil) dan akhlak yang buruk. (HR. Ahmad)
15. Akan
tiba satu jaman atas manusia dimana perhatian mereka hanya tertuju pada urusan
perut dan kehormatan mereka hanya benda semata-mata. Kiblat mereka hanya urusan
wanita (seks) dan agama mereka adalah harta mas dan perak. Mereka adalah
makhluk Allah yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian yang menyenangkan
di sisi Allah. (HR. Ad-Dailami)
16. Alangkah
baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak
mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain. (HR. Ad-Dailami)
17.
Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar (kejam dan keras),
sombong, angkuh, bersuara keras di pasar-pasar (tempat umum) pada malam hari
serupa bangkai dan pada siang hari serupa keledai, mengetahui urusan-urusan
dunia tetapi jahil (bodoh dan tidak mengetahui) urusan akhirat. (HR. Ahmad)
18.
Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) tingkah-laku suatu kaum maka dia tergolong
dari mereka. (HR. Abu Dawud)
19. Kelak
akan menimpa umatku penyakit umat-umat terdahulu yaitu penyakit sombong, kufur
nikmat dan lupa daratan dalam memperoleh kenikmatan. Mereka berlomba
mengumpulkan harta dan bermegah-megahan dengan harta. Mereka terjerumus dalam
jurang kesenangan dunia, saling bermusuhan dan saling iri, dengki, dan dendam
sehingga mereka melakukan kezaliman (melampaui batas). (HR. Al Hakim)
Sumber: 1100
Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) – Dr. Muhammad Faiz Almath – Gema
Insani Press
Zhahir dan Batin, Diyanah dan Qadha
Para Ulama sepakat, bahwa secara global perintah dalam
syariat Islam itu terbagi menjadi dua. Pertama, perintah yang berkaitan dengan
segala ucapan dan perbuatan dhahir yang terlihat oleh panca indra, seperti
shalat, puasa, amr maruf nahy munkar dan aktifitas keIslaman lainnya. Kedua,
Segala perintah yang berkaitan dengan hati dan jiwa, seperti ikhlash, rendah
hati, cinta dan benci karena Allah, takut kepada ancaman Allah dan berharap akan
pahala dan ridha-Nya.
Dan Ulama juga sepakat, larangan dalam syariat Islam
terbagi menjadi dua. Pertama, larangan yang berkaitan dengan segala ucapan
maupun perbuatan yang terlihat, seperti larangan membunuh dengan tidak hak,
mencuri, zina, ghibah, namimah dll. Kedua, larangan yang berkaitan dengan hati
dan jiwa, seperti larangan dengki, takabbur, riya, dendam dan terikat oleh
hiasan dunia dan hawa nafsu.
Dan Ulama juga sepakat, bahwa setiap ketaatan lahir seorang
muslim baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, itu tidak akan sempurna dan
tidak akan diterima disisi Allah, jika tidak dilandasi oleh ketaatan batin.
Sebaik dan sebanyak apapun amal ketaatan lahir kita, jika
tidak dilandasi oleh keikhlasan, maka buah kedekatan kepada Allah tidak akan
tercapai.
Sebaik apapun penampilan ketaatan lahir kita dalam
pandangan manusia, jika hati tidak dibalut oleh akhlaq yang mulia, maka
penampilan itu tidak ada artinya.
Jika hati kita didominasi oleh perasaan takabbur, dendam
dan dengki, maka hati itu itu akan lemah untuk melambari seluruh ketaatan dan
ibadah lahir dengan ungkapan ubudiyyah kepada Allah. Apabila telah terputus,
tali penyambung ubudiyyah antara hati dan ketaatan lahir seorang muslim, maka
hilanglah daya untuk mendekat kepada Allah swt. Dan terkoyaklah jaring pengaman
dari fitnah dunia, godaan syaithan dan hawa nafsu, ibaratnya seperti buah mati
karena menempel pada dahan yang kering tak bernyawa, tidak ada yang diharap
kecuali kehampaan dan kekosongan.
Pembagian hukum Islam dalam dua hal ini telah dinyatakan
secara jelas oleh Al Quran, dengan redaksi yang beragam. Allah swt berfirman :
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ
يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi.
Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada
hari kiamat), disebabkan apa yang mereka Telah kerjakan.” (QS. Al Anam : 120)
Sebagian kita mengungkapkan dengan kata dhahir dan batin,
sebagian yang lain dengan kata diyanah dan qadha, sebagian yang lain dengan
kata syariat dan hakikat.
Semua ungkapan itu sama, selama makna kebenaran
menjiwainya. Sebagai contoh, seseorang yang menjalankan kewajiban shalat dengan
memenuhi syarat dan rukunnya, maka kita katakan, dari sisi dhahir, qadha dan
syariah orang tersebut telah menjalankan kewajiban dengan benar. Namun apabila
shalatnya dibarengi dengan riya', ujub atau aqidah kufur, maka dari sisi batin,
diyanah dan hakikat orang tersebut tidak menunaikan kewajiban dengan baik.
Jadi semua amal ketaatan kita lihat dari dua sisi, sisi
dhahir dan batin, sisi qadha dan diyanah atau sisi syariah dan hakikat.
Bisa jadi kedua sisi terpenuhi dalam suatu amal ketaatan,
ketika ketaatan itu memenuhi syarat dan rukun dhahir, qadha maupun syariat,
begitu juga syarat dan rukun batin, diyanah maupun hakikat yang berada dalam
penilaian Allah swt. Tuhan alam semesta, maka ketaatan tersebut diterima oleh
Allah swt.
Dan bisa jadi kedua sisi tersebut tidak terpenuhi dalam
suatu amal ketaatan, maka ketaatan tersebut tertolak sekaligus, baik dari sisi
dhahir batinnya, qaha diyanahnya dan syariat hakikatnya.
Atau bisa jadi dari satu sisi terpenuhi, tapi dari sisi
yang lain tidak, ketika syarat dan rukun terpenuhi hanya dari sisi dhahir,
qadha dan syariah, tapi dari sisi batin, diyanah dan hakikat tidak terpenuhi,
atau sebaliknya, maka amalan tersebut tertolak secara otomatis, sebaik dan
seindah apapun penampilan amal ketaatan tersebut dalam pandangan kita. Allah
swt berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ
هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu
kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqan : 23)
Dari yang kami paparkan menjadi jelas, bahwa dhahir dan
batin adalah dua hal yang berkaitan, berjalin berkelindan, tidak benar batin
tanpa dhahir, atau dhahir tanpa batin.
Al Izz bin Abdus salam rahimahullah berkata : “Hakikat itu
tidak akan pernah lepas dari syariah, bahkan syariah akan selalu bertumpu pada
kebaikan hati, marifat, hal, azm, niat dan amalan-amalan hati lainnya. Memahami
hukum dhahir adalah memahami syariah secara utuh dan memahami hukum batin
adalah saripati dari memahami inti syariah, tidak ada yang menolak hakikat ini
kecuali orang kafir atau seorang pendosa.”
Adapun pendapat yang mengatakan, bahwa batin atau hakikat
adalah syariat yang didapatkan karena melakukan olah batin tertentu atau
melakukan ritual yang dibuat-buat, kemudian menafikan dan menghapus syariat
dhahir, syariat batin menduduki posisi syariat dhahir, maka itu adalah aqidah
ahli zindiq, penganut aliran permisifisme yang merajalela.
Pendapat ini
tidak lain adalah pendapat ahli zindiq yang menyelusup ke dalam Islam, dengan
berpura-pura menjadi muslim yang diterima oleh semua kalangan, ketika ia masuk
dalam kelompok syiah ia memakai seragam kaum syiah, ketika bertemu para sufi ia
pun memakai baju sufi, padahal mereka tidak masuk dalam golongan yang satu
ataupun yang lainnya, tetapi mereka hanyalah perusak Islam dan umatnya, yang
mencari kesempatan dalam kesempitan.
Ketika sebagian orang berpegang dengan pendapat yang salah
tentang dhahir batin, qadha diyanah dan syariah hakikat, tidak berusaha mencari
pendapat yang benar, maka mereka akan jatuh pada penolakan mutlak, mereka akan
menafikan pembagian sisi dhahir dan batin dalam agama ini, qadha dan diayanah
maupun syariah dan hakikat. Mereka merasa asing dengan pembagian ini, bahkan
menolak mentah-mentah pembagian ini, karena mereka kekeuh dengan pendapat salah
yang dilontarkan oleh para zindiq dan penganut permissifisme dengan kedok
tashawwuf, karamah dan kemuliaan dari Allah.
Aliran pemikiran seperti ini dengan pendapat-pendapatnya
yang bathil, dengan idiom-idiom yang menyeleweng dari hakikatnya, tidak
memberikan pengaruh apa-apa bagi orang yang iman kepada kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya.
Ringkas kata, hakikat Islam yang sesungguhnya dalam ibadah
adalah, ketika hati dan sikap dhahir atau aktifitas amal saling bersesuaian,
berjalan seiring diatas konsep ilahy yang sudah digariskan oleh Al Quran dan
Sunnah Rasul-Nya. Apabila salah satu ditinggalkan maka hasilnya bukan
mencerminkan hakikat Islam.
Niscayanya kebersamaan dhahir dan batin ini, melahirkan
perbedaan yang tegas antara mukmin dan munafik dalam alam realitas.
Niscayanya kesesuaian antara dhahir dan batin ini,
menjadikan jihad dan pengorbanan memiliki makna strategis dalam amal Islami.
Niscayanya kesamaan dhahir dan batin ini, menjadikan umat
Islam akan hidup bersatu, kuat dan memiliki izzah, masjid-masjid makmur dengan
beragam aktifitas, mimbar-mimbarnya bersinar dengan petunjuk, lisan tak
berhenti berdakwah dan ilmu yang tertuang dalam hati maupun kitab menjadi
tangga kesuksesannya.
Namun sayang
seribu sayang, hati kita sendirilah yang jauh dari kebersamaan ini. Bukanlah
sebuah kebersamaan, ketika dhahir kita penuh dengan tipuan, dan batin kita
menipu Allah swt. Padahal kita tidak menipu Allah, justru kita telah menipu
diri kita sendiri
Maksiat Anggota Tubuh
Mata
bermaksiat melihat aurat. Telinga bermaksiat mendengar keburukan lisan, yang
menurut Imam Ghazali mempunyai hampir 20 varian. Dusta, menggunjing, menggosip,
mengejek, sumpah janji palsu, bicara yang tidak perlu, menfitnah, bersaksi
palsu, meratap, memaki, melecehkan, dan lainnya.
Tangan
bermaksiat dengan menindas, memukul tanpa hak, membunuh, bekerja sama dengan
musuh Allah, menulis yang tidak seharusnya ditulis. Kaki bermaksiat dengan
berjalan ke tempat yang diharamkan, menziarahi orang zalim, safar dalam
kezaliman. Kemaluan bermaksiat dengan berzina, melakukan amalan kaum Luth,
mendatangi perempuan dari tempat yang dilarang.
Perut
bermaksiat dengan minum khamr (alkohol), memakan hasil riba, hasil
judi, menjual sesuatu yang diharamkan, menyembunyikan barang di pasaran dengan
harapan harga menjadi naik, menerima suap, dan lain sebagainya dari memakan
harta orang lain dengan batil dan zalim.
Maksiat Yang Membinasakan
Sekali lagi
dosa-dosa diatas masih masuk kategori dosa yang nampak dari hasil perbuatan
anggota tubuh. Padahal, setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi dosa yang
nampak ataupun tidak. Allah SWT berfirman:
وذروا ظاهر الإثم وباطنه إن الذين يكسبون
الإثم سيجزون بما كانوا يقترفون
Artinya: “Dan tinggalkanlah dosa
yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa,
kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah
kerjakan.” (Al-An’Am ayat 120)
Sebenarnya,
maksiat batin itu lebih dahsyat bahayanya dari maksiat zahir sebagaimana
ketaatan hati itu lebih penting daripada ketaatan anggota badan. Bukankah,
amalan anggota tubuh tidak akan diterima tanpa amalan hati yaitu niat yang
ikhlas?
Maksiat hati
itu; sombong, takabur, bangga diri, riya, cinta dunia, cinta harta, hasud,
dengki, amarah, dan lain sebagainya yang dinamakan Imam Ghazali dengan
“penghancur” sesuai dengan bunyi hadis:
ثلاث مهلكات: شح مطاع، وهوى متبع، وإعجاب
المرء بنفسه
“Tiga muhlikat (penghancur) adalah:
sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan takjub terhadap diri
sendiri.”
Dosa Hati Lebih Berbahaya
Dosa hati lebih berbahaya dibandingkan
yang lainnya, karena:
Pertama, ia langsung berkaitan dengan hati. Qalbu adalah
hakekat manusia itu sendiri. Manusia bukanlah sekedar makhluk terbungkus
jasmani yang terbuat dari tanah. Hanya makan dan minum tetapi ia menyimpan satu
mutiara yaitu ruh, yaitu kalbu, yaitu hati. Berkaitan dengan ini, Rasulullah
SAW bersabda:
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلح
الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله؛ ألا وهي القلب
“Ketahuilah, bahwa di dalam jasad
ada segumpal darah. Jika ia baik, maka akan baik seluruh tubuh, dan jika ia
rusak, maka akan rusak seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.”
إن الله لا ينظر إلى أجسامكم وصوركم،
ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
“Sesungguhnya Allah tidak melihat
kepada jasad dan bentuk kalian, tetapi Ia melihat pada hati dan amal perbuatan
kalian.”
Bahkan
satu-satunya jalan untuk sukses di kehidupan akhirat, adalah selamatnya
hati dari penyakit yang membinasakannya. Allah SWT berfirman:
ولا تخزني يوم يبعثون يوم لا ينفع مال
ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم
“dan janganlah Engkau hinakan aku
pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki
tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih.” (Asy-Syu’ara ayat 87-89)
Selamatnya
hati yakni selamat dari kemusyrikan yang nampak ataupun yang tersembunyi.
Selamat dari kemunafikan besar maupun kecil. Selamat dari rasa sombong, hasud,
iri dengki dan lain sebagainya.
Ibnu Qoyyim
berkata: “selamat dari lima perkara: dari syirik yang bertentangan tauhid, dari
bid’ah yang melawan sunnah, dari syahwat yang melawan perintah, dari kelalaian
yang melupakan zikir, dan dari hawa nafsu yang menghancurkan keikhlasan”.
Kedua, maksiat hati lebih bahaya karena ia langsung
mengarahkan anggota tubuh yang lain untuk melakukannya.
Kufur
misalnya, kadang kala didorong oleh rasa hasud didalam hati. Seperti yang
terjadi pada kaum yahudi. Firman Allah:
ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد
إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق
“Sebahagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata
bagi mereka kebenaran.” (QS.
Baqarah ayat: 109)
Ia juga mendorong kepada kesombongan
seperti yang terjadi pada diri Fir’aun dan pendukungnya:
وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا
فانظر كيف كان عاقبة المفسدين
“Dan mereka mengingkarinya karena
kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.
Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
(QS. An-Naml: ayat 14)
Demikian
pula hasud dan iri dengki dalam hati bahkan bisa membuat pelakunya tega
menghabisi nyawa orang lain seperti yang terjadi pada kisah Habil dan Qabil:
إذ قربا قربانا فتقبل من أحدهما ولم
يتقبل من الآخر قال لأقتلنك قال إنما يتقبل الله من المتقين
“Ketika keduanya mempersembahkan
korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!.”
Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: ayat 27)
Ketiga, pada kebiasaanya, dosa dan maksiat yang zahir
sebabnya adalah lemahnya iman dan sifat alpa sehingga pelakunya mudah untuk
segera melakukan taubat. Berbeda dengan dosa akibat hati yang rusak.
Dosa yang
dilakukan Adam as dan Hawa karena lalai dan termakan tipuan Iblis yang merayu
untuk memakan buah khuldi yang dilarang. Oleh itu, mereka berdua segera
menyadari kesalahan dan cepat-cepat meminta ampun pada Allah swt.
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا
وترحمنا لنكونن من الخاسرين
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang
merugi.” (QS: Al-A’raf ayat 23)
Akibatnya, Allah swt dengan mudah
memaafkan dan menerima taubat mereka:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه إنه هو
التواب الرحيم
“Keduanya berkata: Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah ayat 37)
Ini berbeda dengan Iblis. Dosa yang
dilakukannya adalah dosa hati, yaitu abai pada perintah Allah dan menyombongkan
dirinya.
قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت
بيدي أستكبرت أم كنت من العالين قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين
“Allah berfirman: “Hai iblis,
apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?.” (QS. Shad ayat 75-76)
Oleh itu, balasan bagi Iblis adalah:
قال فاخرج منها فإنك رجيم وإن عليك
اللعنة إلى يوم الدين
“Allah berfirman: “Maka keluarlah
kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Sesungguhnya
kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” (QS. Shad ayat 77-78)
Keempat, ganjaran bagi pelaku maksiat hati lebih dahsyat
daripada pelaku maksiat anggota tubuh.
Rasulullah saw bersabda:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة
من كبر
“Tidak akan masuk surga orang yang
di dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat biji zarrah.”
Demikian pula Nabi SAW mengatakan
“jangan marah” sebanyak tiga kali kepada sahabat yang meminta wasiat kepada
beliau.
Hampir sebagian besar dari kita, mengenal dosa dan maksiat
hanyalah hasil perbuatan anggota tubuh. Perbuatan panca indra. Maksiat
tangan dan kaki, mata dan telinga, lidah dan hidung, dan sebagainya. Pada
intinya tidak jauh-jauh dengan syahwat perut dan kemaluan.
Pernahkah kita berfikir bahwa ada dosa
dan maksiat yang sumbernya dari hati atau ‘qalb’. Yang tak nampak oleh mata,
tak terdengar di telinga, tak tersentuh dengan tangan, tak tercium melalui
hidung dan tak terasa di lidah.
FUNGSI AL QURAN
Menurut
pendapat Subhi Shalih, Al Quran berarti bacaan. Yang merupakan
kata turunan atau masdar Qara’a ( fiil Madhi) dengan arti isim Al Maf’ul
taitu Maqru’ yang artinya dibaca. Kata
Al Quran selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang di
wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Para ahli tafsir bersilang penndapat
mengenai penamaan Al Quran. Pemberian nama Al Quran yang begitu banyak tidak di
setujui oleh sebagian ulama’. Dari sudt isi atau subtansinya, fungsi Al Quran
sebagai tersusun dalam nama-namanya antara lain:
a)
Al Huda (petunjuk), yaitu petunjuk bagi manusia secara umum, Al Quran
adalah petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
b)
Al furqan (pemisah), yaitu untuk membedakan dan memisahkan antar yang haq dan
yang bathil.
c)
As Syifa’ (obat), yaitu sebagai obat berbagai penyakit yang ada dalam dada
(psikologis).
d)
Al Mauidzah (nasihat), yaitu naishat bagi orang-orang yang bertaqwa.
ULUMUL QURAN DAN TAFSIR.
Dilihat
dari sejarah dan proses pewahyuan, Al Quran tidak di turunkan secara sekaligus,
tetapi melalui tahapan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa Al
Quran tidak hampa sosial melainkan merupakan jawaban dari persoalan yang
melanda kehidupan manusia. Cara Allah SWT menurunkan Al Quran kepada Nabi
Muhammad SAW adalah :
1)
Malaikat memasukan wahyu kedalam hati Nabi Muhammad.
2)
Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammadberupa seorang
laki-laki.
3)
Malaikat menampakkan dirinya dalam rupa yang asli.
4)
Wahyu datang kepada Nabi Muhammad seperti egmerincingnya lonceng.
Penulisan
Al Quran pad zaman Nabi masih berserakan dalam bentuk tulisan diatas pelepah
daun kurma, lempengan batu, kepingan tulang, dan lainya terpelihara dalam
hafalan para sahabat. Namun, pada zaman Abu Bakar, para penghafal banyak yang
gugr di medan perang,sehingga atas usul Umar bin Khattab, ayat-ayat yang
berceceran dihimpun dalam sebuah mushaf. Mushaf hasil kerja tim kemudian di
jadikan mushaf standar penilisan dan percetakan pada tahun berikutnya.
Al
Quran merupakan kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk, tidak
hanya umat islam tetapi bagi seluruh umat manusia, dan memuat aturan dan ajaran
yang meliputi berbagai dimensi kehidupan. Pesan-pesan yang terkandung dalam Al
Quran ialah Tauhid, Ibadah, Jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta riwayat
cerita sejarah orang terdahulu.
Ilmu bantu untuk memahami Al Quran diantaranya :
‘Ulum Al Quran, pembahasanya adallah mengenai ayat-ayat Makiyyah, Madaniyyah,
Asbabul Nuzul, I’rab Quran dan Qira’ah.
Tafsir, berarti secara bahasa ialah penjelasan atau katarangan. Secara
istilah, Ilmu yang membahas melafalkan lafad-lafad Al Quran serta menerangkan
makna yang dimaksudnya sesuai dengan Dilalah yang Zhahrir sebatas kemampuan
manusia.
Penafsiran Ilmiah Al-Qur'an
Al-Quran
Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai
"Petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang
bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan
kepada Nabi Muhammad saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya).
Di
samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan
ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat
mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan
alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan
perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok
ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak
termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan
kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:
Allah akan memperlihatkan
tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga
terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41:53).
b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi (tentunya terutama
Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan
dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS 2:213).
Perkembangan Penafsiran Ilmiah
Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah
mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun
"semisal" Al-Quran. Tantangan tersebut datang secara bertahap:
a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88; 52:34).
b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS 11:13).
c. Satu surah saja (QS 10:38).
d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS 2:23).76
Arti semisal mencakup segala macam aspek yang
terdapat dalam Al-Quran,77 salah satu di antaranya adalah kandungannya yang
antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa
turunnya.
Dari sini tidaklah mengherankan
jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan
Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran,
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan
adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara
lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui
Al-Quran, dan bukan sebaliknya.
Corak penafsiran ilmiah ini telah
lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab
ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah
Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M)78 yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya'
'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan
pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu
pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang
kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran
Al-Karim."79
Hal ini, menurut Al-Ghazali,
karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan
sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan
sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat
isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya.80 Hal terakhir ini, antara
lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah
yang mengobatiku" (QS 26:80).
"Obat" dan
"penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh
yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan
isyarat tentang ilmu kedokteran.
Agaknya, ulasan yang dikemukakan
ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas,
namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah
setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok
disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan
"kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.
Dalam Al-Quran ditemukan
kata-kata "ilmu" --dalam berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak
854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan
untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana
dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan,
antara lain:
1. Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79);
(b) Taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).
2. Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
3. Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain
QS 21:37).
4. Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara
lain QS 7:146).
Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain:
1. Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam
arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk
persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada
pengetahuan (baca, antara lain, QS 10:39).
2. Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa pun --walaupun dalam
pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw.
Di lain segi, paling sedikit ada
tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan
fenomenanya:
1. Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan
mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari
perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk
mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut,
namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate
goal).
2. Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki,
dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat
melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan
menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya
tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya
ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini
(hukum-hukum alam).
3. Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya tentang alam raya dan
fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau
penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing."89
Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu menggaris bawahi beberapa prinsip pokok:
a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami
kitab suci yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan
berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan
pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud
tersebut.
b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk orang-orang Arab ummiyin yang
hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini,
tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak
berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk menggunakan akalnya.
c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat pengetahuan
seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif90 atau terlepas
dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli di bidang
ini.
Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran,
membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula yang perlu digarisbawahi,
yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah.
1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa
untuk memahami kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk
memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih
dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut.
Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek
yang berhubungan dengan ayat tadi.
Dahulu Al-Thabariy (251-310 H),
misalnya, menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu
referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran.91 Bila apa
yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa kini--
tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu
pengetahuan.
Metode ini, antara lain, ditempuh
oleh Hanafi Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya'
untuk matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber
sinar matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber
dari sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari
penelitian terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam berbagai
bentuknya-- sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.94
2. Konteks antara Kata atau Ayat
Memahami pengertian satu kata
dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut
dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang yang tidak
memperhatikan hubungan antara arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min
aisama' ma'a (QS 15:22), yakni hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan
menerjemahkan dan memahami arti lawaqi' dengan "mengawinkan
(tumbuh-tumbuhan)".100 Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata
tersebut berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan sebab dan akibat
atau hubungan kronologis yang dipahami dari huruf fa pada fa anzalna tentunya
pengertian "mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi
tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat
antara perkawinan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika
pengertian itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama' ma'a",
maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan
dan siaplah buahnya untuk dimakan manusia".
Ada yang menyatakan bahwa ayat 33
surah Al-Rahman telah mengisyaratkan kemampuan manusia menjelajahi angkasa
luar. Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya, khususnya dengan ayat 35, Kepada kamu (Jin dan Manusia)
dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak akan dapat
menyelamatkan diri, maka pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar ia
tidak terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya kontradiksi antara dua
ayat: ayat 33, berbicara tentang kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar,
sedangkan ayat 35, menegaskan ketidakmampuannya.
Disamping memperhatikan konteks
ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran
ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan
--bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin
ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan
menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian
merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil
kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran
tentang masalah yang dibahas itu.104
3. Sifat Penemuan Ilmiah
Seperti telah dikemukakan di atas
bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain,
perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu
pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman
terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-beda.
Namun perlu kiranya digarisbawahi
bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu,
sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip
"larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka
penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam
menafsirkan Al-Quran.
Seseorang bahkan tidak dapat
mengatasnamakan Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak
dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah
dikemukakan dalam pembahasan semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan,
walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala
macam ilmu pengetahuan.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B. SARAN
Dalam pembuatan
makalah ini, pemakalah menyadari masih terdapat kekurangan dan kesalahan yang
disebabkan keterbatasan pengetahuan yang pemakalah miliki. oleh sebab itu,
pemakalah meminta kritikan dan saran dari para pembaca.
0 komentar:
Posting Komentar