Recent Post

Selasa, 17 September 2013



MAKALAH

“METODOLOGI STUDI ISLAM”





Disusun Oleh :
              1. Batara Surya Pratama








Dosen Pembimbing


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN JURAI SIWO METRO
2011 / 2012



KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Metodologi Study Islam”  ini dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Metodologi Study Islam , serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan Metodologi Study Islam, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Pancasila atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Metodologi Study Islam, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Metro, Oktober 2011

       Penulis



BAB 1

Pembahasan Materi

 

ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

A.    Persentuhan Islam Degan Kebudayaan Melayu Dan Jawa.

Dalam ajaran islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepadaNya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan penjelasan yang berbeda. Di pesantren pesantren tradisional salafi, kalimat laa ilaaha  illa Allah sering di tafsirkan sebagai berikut:
Petama La Maujud illa Allah ( tidak ada yang wujud selain Allah ).
Kedua La Ma’bud illa Allah ( tidak ada yang disembah kecuali Allah ).
Ketiga La Masashqud illa Allah ( tidak ada yang dimaksud kecuali Allah ).
Keempat La Mathlub illa Allah ( tidak ada yang diminta kecuali Allah ).
Konsep mengenai kehidupan dalam islam adalah konsep teometris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada tuhan. Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia (QS Al-Anshor : 2&3). Dikatakan bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali orang-oranng yang beriman dan beramal shaleh. Oleh karena itu, antara iaman (yang teosentris) dan amal shaleh (yang antroposentris) tidak dapat di pisahkan.
Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan keraton dan kebudayaan populer. Dua kebudayaan ini sering di sebut kebudayaan Tradisional. Dalam sastra kerajaan mitos-mitos di himpun dalam babad, hikayat, dan lontara. Hampir semua mitos berisi tentang kesaktian raja,atau kwalitas suprainsani raja. Efek yang hendak di capai adalah agar rakyat loyal terhadap kekuasaan raja.
Konsep kekuasaan jawa berbeda dengan konsep kekuasaan ialam. Dalam kebudayaan jawa dikenal konsep Raja Absolut, islam justru mengutamakan konsep Raj Adil , Al Malik Al-Adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu di catat adlah budaya keraton di luar jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan islam. Kebudayaan keraton di jawa mementingkan kemutlakan raja untuk tertib sosial, sedangkan islam mementingkan hukum yang adil untuk tegaknya ketertiban sosial.
Pengaruh islam dalam kebudayaan dapat dilihat dalam ekspresi ritual seperti upacara “Pengiwahan” agar manusia menjadi mulia atau wiwoho di adakanlah upacara kelahiran , perkawinan dan kematian. Selain itu budaya islam dapat dilihat dalam acara maulid, seni musik qasidah dan gambus.

B.    Islam dan Adat Melayu di Sulawesi Selatan dan Aceh.

Pengaruh islam dalam budaya Sulawesi Selatan antara lain tergambarkan dalam Sulapu Eppae ( peptah orang tua kepada anaknya,yang hendak merantau). Halide menjelaskan bahwa Sulapaa Eppae mengandung ajaran kepemimpinan. Seorang pemimpin akan sukses bila memilki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani, adil, ilmuan, dan hartawan.
 Abu Bakar Ash –Shiddiq adalah simbol kejujuran, kebijksanaan dan kesabaran. Umar bin khattab adalah simbol keberanian dan keadilan.
Ali bin abi thalib adalah simbol ilmuan. Dan Utsman bin Affan adalah simbol hartawan.
Salah satu yang menarik dari artikel yang di tulis oleh Halide adalah peranan kitab berjanji, kitab gubahan, Syeikh Ja’far Al Barjanji ini dinilai berperan penting dalam kehidupan masyarakat sulawesi selatan. Ia selalu di baca dalam upacara perkawinan, memasuki rumah baru, melahirkan ank, khataman Al Quran dan terutama peringatan mauliad nabi Muhammad SAW.
Kesenian aceh telah terpadu  dengan islam dan terwujud dalam berbagai cabang., yakni sastra, seni tai, seni bangunan, dan seni pahat, seni tari dan musik. Kebudayaan melayu lebih mudah menerima islam, sedangkan budaya jawa yang oleh Kuntowijoyo di bagi menjdi dua:
Budaya keraton,dan budaya populercenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton dalam menerima isalm.budaya keraton jawa yang mewarisi tradisi Hindu Budha yang berintegrasi dengan budaya islam sehingga para ahli dalem membuat silsilah yang membuktikan bahwa raja adalah keturunan dewa. Dan di sisi lain mereka mengaku keturunan para nabi. Lebih dari itu raja di jawa ada yang mengaku sebagai wakil tuhan untuk menanamkan loyalitas rakyat.


ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM

1.     Aliran Kalam.

A.    Khawarij
Yaitu kelompok umat islam yang membelot (keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib), mereka menarik dukunganya terhadap ali dan bersikap menentang terhadap Ali dan Muawiyyah bin Abi Sofyan. Kelompok di pelopori oleh ‘Atab bin Anwar dan ‘Urwah bin Jarir. Pada awalnya Khawarij merupakan aliran atau fraksi politik, karena pada dasarnya kelompok itu terbentuk karena persoalan kepemimpinan uamt islam. Akan tetapi mereka membentuk suatu ajaran yang kemudia menjadi ciri utama aliran mereka, yaitu tentang peleku ajaran dosa besar.Menurut khawarij orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan doso besarberarti telah kafir dan pantas dibunuh.
Oleh karena itu mereka memmutuskan untuk membunuh Ali, dan Muawiyyah, Abu Musa Al-Asyari, Amr  bin Ash dan sahabat sahabat yang menyetujui tahkim. Namun yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib. Dan bagi mereka pembunuhan terhadap orang-orang kafir  adalah ibadah.
B.     Murji’ah
Sebagian uamat islam khwatir terhadap gagasan khawaruj.sehingga sebagian ulama bersikap netral secara politik dan tidak mau mengkhawatirkan para sahabat yang terlibat dan menyetujui tahlim. Umat islam yang tergabung dalam kelompok ini kemudian di kenal dengan Murji’ah.dalam ajaran utama aliran murji’ah orang islam yang melakukan dosa besar tidak boleh fi hukumi (ditentukan ) kedudukanya dengan hukum dunia, mereka tidak boleh di tentukan akan tinggal di neraka atau di syurga, kedudukan mereka di tentukan dengan hukum akhirat. Menurut Murji’ah. Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
C.    Qodariyah
Yaitu manusia yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatanya danmemandang bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidupnya dan mewujudkan perbuatanya. Pertama kalli di perkenalkan oleh Ma’bad Al-Juhani yang wafat terbunuh dalam perang melawan kekuasaan bani umayyah.
D.    Jabariyah
Bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan itu maha kuasa. Karena itu , maka tuhanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia dan yang mewujudkan perbuatanya. Menurut aliran ini, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatanya. Mereka hidup dalam keterpaksaan. Diajarkan pertama kali oleh Al-Jad bin Dirham.
Aliran kalam terakhir yang di kemukakan Taimiah aliran salafi.aliran ini tidak selamanya sejalan dengan gagasan-gagasan Imam Al-Asy’ari, terutama karena aliran ahli Sunnah wal Jama’ah menggunakan logika dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi menhendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki ole unsur-unsur Ra’y.

2.     Aliran Fiqh
Secara historis, hukum islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Madrasat Al Madinah dan Madrasat Al Bghdad. Sedangkan ibnu Al Qoyyim Al Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl Alma’na.
a)     Madrasat Al Madinah
Terbentuk karena sahabat-sahabat tinggal di Madinah.atas sahabat Nabi Muhammad yang tinggal di Madinah, maka terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat.diantaranya adalah Said bin Al Musayyab.
b)     Madrasat Al Baghdad
 jasa sahabat Nabi Muhammad yang tinggal di baghdad maka terbentuklah aliran Ra’yu. Sahabat yang tinggal di kuffah diantaranya Abd Allah bin Mas’ud. Salah satu fikih  abu hanafi adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits dan banyak mengunakan Ra’y.
Aliran-aliran hukum islam antara lain, yaitu Madrasat  Madinah, Kuffah, Aliran Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hnbali, Zhahiriyyah,dan aliran Jaririyyah. Tidak terdapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran hukum islam, karena banyak aliran yang muncul kemudian menghilang karena tidak  ada yang mengembangkanya.aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya ada beberapa aliran yakni: Malikiyyah, Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanbaliyyah.


3.     Aliran-aliran Tasawuf
Ajaran tasawuf atau mistik islam pada dasarnya merupakan sebuah pengalaman (Al Tajribah) spiritual yang bersifat pribadi. Dalam Tasawuf terdapat petunjuk yang bersifat umum tentang Mukamat dan Ahwal.
Para penulis ajaran Tasawuf, termasuk Harun Nasution, memperkirakan adanya unsur-unsur ajaran non islam yang mempengaruhi ajaran taswuf. Terlepas dari ada tidaknya pengaruh Kristen, Hindu, Filsafat Phitagoras, dan Filsafat Emanasi Platinus, yang jelas antara ajaran-ajaran tasawuf dengan ajaran tersebut terdapat kesamaan-kesamaan.
Pada dasarnya Tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antar Sufi (Manusia) dengan Allah.pada Awalnya Tasawuf merrupakan ajaran tentang Al Zuhd (juhud).
 Oleh karena itu, pelakunya di sebut Zahid (asetic).namun kemudian namanya di ubah menjadi Tasawuf dan pelakunya disebut Sufi.

Metode Tasawuf ada 3, yaitu:
1)     Tahali
Yaitu pengisian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2)     Takhali
Yaitu pengosongan diri Sufi.
3)     Tajjali
Adalah Mukhasyafah, Ma’rifah, dan Musyadah. Suatu keadaan mental yang diperoleh manusia tanpa bisa di usahakan, disebut hal atau ahwal. Ahwal adalah suatu keadaan Sufi yang sangat dekat dan bahkan menyatu dengan tuhan. Rabi’ah merumuskan kedekatanya dengan tuhan dalam Mahabbah, Yazid Al Bustomi merumuskan dalam Al Ijtihad, Al Halaj, merumuskanya dalam Hulul Al Ghazali merumuskanya dalam hulul, dan Al Ghazali merumuskanya dalam Ma’rifah.dengan demikian ada timbal balik antara Sufi dengan Tuhan.

Berhias Diri dengan Akhlak yang Baik

Ketahuilah, menghiasi diri dengan akhlak yang baik termasuk unsur-unsur ketakwaan, dan tidak sempurna ketakwaan seseorang itu kecuali dengan akhlak yang baik.
Wallahu waliyyut taufiq.
1. Berhati-hatilah terhadap buruk sangka. Sesungguhnya buruk sangka adalah ucapan yang paling bodoh. (HR. Bukhari)
2. Makar, tipu muslihat dan pengkhianatan rnenyeret pelakunya ke neraka. (HR. Abu Dawud)
3. Orang yang paling dibenci Allah ialah yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam. (HR. Bukhari)

4. Bila hilang budaya malumu lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki. (HR. Bukhari)

5. Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji, yang berkata kotor dan membenci orang yang meminta-minta dengan memaksa. (AR. Ath-Thahawi)
6. Sesungguhnya Allah tidak menyukai banyak bicara, menghambur-hamburkan harta dan terlalu banyak bertanya. (HR. Bukhari)
7. Semua (dosa) umatku akan diampuni kecuali orang yang berbuat (dosa) terang-terangan, yaitu yang melakukan perbuatan dosa pada malam hari lalu Allah menutup-nutupinya kemudian pada esok harinya dia bercerita kepada kawannya, “Tadi malam aku berbuat begini…begini…” Lalu dia membongkar rahasia yang telah ditutup-tutupi Allah ‘Azza wajalla. (Mutafaq’alaih)
8. Barangsiapa mengintai-ngintai (menyelidiki) keburukan saudaranya semuslim maka Allah akan mengintai-intai keburukannya. Barangsiapa diintai keburukannya oleh Allah maka Allah akan mengungkitnya (membongkarnya) walaupun dia melakukan itu di dalam (tengah-tengah) rumahnya. (HR. Ahmad)
9. Sesungguhnya bila kamu mengintai-intai keburukan orang maka kamu telah merusak mereka atau hampir merusak mereka. (HR. Ahmad)
10. Di antara tanda-tanda kesengsaraan adalah mata yang beku, hati yang kejam, dan terlalu memburu kesenangan dunia serta orang yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa. (HR. Al Hakim)
11. Tahukah kamu siapa orang yang bangkrut? Para sahabat menjawab, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.” Nabi Saw lalu berkata, ” Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah (orang) yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah mencaci-maki orang ini dan menuduh orang itu berbuat zina. Dia pernah memakan harta orang itu lalu dia menanti orang ini menuntut dan mengambil pahalanya (sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya. Bila pahala-pahalanya habis sebelum selesai tuntutan dan ganti tebusan atas dosa-dosanya maka dosa orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya lalu dia dihempaskan ke api neraka.” (HR. Muslim)
12. Sesungguhnya Allah membenci orang yang selalu berwajah muram di hadapan kawan-kawannya. (HR. Ad-Dailami)
13. Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah ialah yang dijauhi manusia karena ditakuti kejahatannya. (Mutafaq’alaih)
14. Dua sifat tidak akan bertemu dalam diri seorang mukmin yaitu kikir (bakhil) dan akhlak yang buruk. (HR. Ahmad)
15. Akan tiba satu jaman atas manusia dimana perhatian mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya benda semata-mata. Kiblat mereka hanya urusan wanita (seks) dan agama mereka adalah harta mas dan perak. Mereka adalah makhluk Allah yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian yang menyenangkan di sisi Allah. (HR. Ad-Dailami)
16. Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain. (HR. Ad-Dailami)
17. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar (kejam dan keras), sombong, angkuh, bersuara keras di pasar-pasar (tempat umum) pada malam hari serupa bangkai dan pada siang hari serupa keledai, mengetahui urusan-urusan dunia tetapi jahil (bodoh dan tidak mengetahui) urusan akhirat. (HR. Ahmad)
18. Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) tingkah-laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. (HR. Abu Dawud)
19. Kelak akan menimpa umatku penyakit umat-umat terdahulu yaitu penyakit sombong, kufur nikmat dan lupa daratan dalam memperoleh kenikmatan. Mereka berlomba mengumpulkan harta dan bermegah-megahan dengan harta. Mereka terjerumus dalam jurang kesenangan dunia, saling bermusuhan dan saling iri, dengki, dan dendam sehingga mereka melakukan kezaliman (melampaui batas). (HR. Al Hakim)
Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) – Dr. Muhammad Faiz Almath – Gema Insani Press
Zhahir dan Batin, Diyanah dan Qadha
Para Ulama sepakat, bahwa secara global perintah dalam syariat Islam itu terbagi menjadi dua. Pertama, perintah yang berkaitan dengan segala ucapan dan perbuatan dhahir yang terlihat oleh panca indra, seperti shalat, puasa, amr maruf nahy munkar dan aktifitas keIslaman lainnya. Kedua, Segala perintah yang berkaitan dengan hati dan jiwa, seperti ikhlash, rendah hati, cinta dan benci karena Allah, takut kepada ancaman Allah dan berharap akan pahala dan ridha-Nya.
Dan Ulama juga sepakat, larangan dalam syariat Islam terbagi menjadi dua. Pertama, larangan yang berkaitan dengan segala ucapan maupun perbuatan yang terlihat, seperti larangan membunuh dengan tidak hak, mencuri, zina, ghibah, namimah dll. Kedua, larangan yang berkaitan dengan hati dan jiwa, seperti larangan dengki, takabbur, riya, dendam dan terikat oleh hiasan dunia dan hawa nafsu.
Dan Ulama juga sepakat, bahwa setiap ketaatan lahir seorang muslim baik yang berupa ucapan maupun perbuatan, itu tidak akan sempurna dan tidak akan diterima disisi Allah, jika tidak dilandasi oleh ketaatan batin.
Sebaik dan sebanyak apapun amal ketaatan lahir kita, jika tidak dilandasi oleh keikhlasan, maka buah kedekatan kepada Allah tidak akan tercapai.
Sebaik apapun penampilan ketaatan lahir kita dalam pandangan manusia, jika hati tidak dibalut oleh akhlaq yang mulia, maka penampilan itu tidak ada artinya.
Jika hati kita didominasi oleh perasaan takabbur, dendam dan dengki, maka hati itu itu akan lemah untuk melambari seluruh ketaatan dan ibadah lahir dengan ungkapan ubudiyyah kepada Allah. Apabila telah terputus, tali penyambung ubudiyyah antara hati dan ketaatan lahir seorang muslim, maka hilanglah daya untuk mendekat kepada Allah swt. Dan terkoyaklah jaring pengaman dari fitnah dunia, godaan syaithan dan hawa nafsu, ibaratnya seperti buah mati karena menempel pada dahan yang kering tak bernyawa, tidak ada yang diharap kecuali kehampaan dan kekosongan.
Pembagian hukum Islam dalam dua hal ini telah dinyatakan secara jelas oleh Al Quran, dengan redaksi yang beragam. Allah swt berfirman :
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ
“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka Telah kerjakan.” (QS. Al Anam : 120)
Sebagian kita mengungkapkan dengan kata dhahir dan batin, sebagian yang lain dengan kata diyanah dan qadha, sebagian yang lain dengan kata syariat dan hakikat.
Semua ungkapan itu sama, selama makna kebenaran menjiwainya. Sebagai contoh, seseorang yang menjalankan kewajiban shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka kita katakan, dari sisi dhahir, qadha dan syariah orang tersebut telah menjalankan kewajiban dengan benar. Namun apabila shalatnya dibarengi dengan riya', ujub atau aqidah kufur, maka dari sisi batin, diyanah dan hakikat orang tersebut tidak menunaikan kewajiban dengan baik.
Jadi semua amal ketaatan kita lihat dari dua sisi, sisi dhahir dan batin, sisi qadha dan diyanah atau sisi syariah dan hakikat.
Bisa jadi kedua sisi terpenuhi dalam suatu amal ketaatan, ketika ketaatan itu memenuhi syarat dan rukun dhahir, qadha maupun syariat, begitu juga syarat dan rukun batin, diyanah maupun hakikat yang berada dalam penilaian Allah swt. Tuhan alam semesta, maka ketaatan tersebut diterima oleh Allah swt.
Dan bisa jadi kedua sisi tersebut tidak terpenuhi dalam suatu amal ketaatan, maka ketaatan tersebut tertolak sekaligus, baik dari sisi dhahir batinnya, qaha diyanahnya dan syariat hakikatnya.
Atau bisa jadi dari satu sisi terpenuhi, tapi dari sisi yang lain tidak, ketika syarat dan rukun terpenuhi hanya dari sisi dhahir, qadha dan syariah, tapi dari sisi batin, diyanah dan hakikat tidak terpenuhi, atau sebaliknya, maka amalan tersebut tertolak secara otomatis, sebaik dan seindah apapun penampilan amal ketaatan tersebut dalam pandangan kita. Allah swt berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqan : 23)
Dari yang kami paparkan menjadi jelas, bahwa dhahir dan batin adalah dua hal yang berkaitan, berjalin berkelindan, tidak benar batin tanpa dhahir, atau dhahir tanpa batin.
Al Izz bin Abdus salam rahimahullah berkata : “Hakikat itu tidak akan pernah lepas dari syariah, bahkan syariah akan selalu bertumpu pada kebaikan hati, marifat, hal, azm, niat dan amalan-amalan hati lainnya. Memahami hukum dhahir adalah memahami syariah secara utuh dan memahami hukum batin adalah saripati dari memahami inti syariah, tidak ada yang menolak hakikat ini kecuali orang kafir atau seorang pendosa.”
Adapun pendapat yang mengatakan, bahwa batin atau hakikat adalah syariat yang didapatkan karena melakukan olah batin tertentu atau melakukan ritual yang dibuat-buat, kemudian menafikan dan menghapus syariat dhahir, syariat batin menduduki posisi syariat dhahir, maka itu adalah aqidah ahli zindiq, penganut aliran permisifisme yang merajalela.
Pendapat ini tidak lain adalah pendapat ahli zindiq yang menyelusup ke dalam Islam, dengan berpura-pura menjadi muslim yang diterima oleh semua kalangan, ketika ia masuk dalam kelompok syiah ia memakai seragam kaum syiah, ketika bertemu para sufi ia pun memakai baju sufi, padahal mereka tidak masuk dalam golongan yang satu ataupun yang lainnya, tetapi mereka hanyalah perusak Islam dan umatnya, yang mencari kesempatan dalam kesempitan.
Ketika sebagian orang berpegang dengan pendapat yang salah tentang dhahir batin, qadha diyanah dan syariah hakikat, tidak berusaha mencari pendapat yang benar, maka mereka akan jatuh pada penolakan mutlak, mereka akan menafikan pembagian sisi dhahir dan batin dalam agama ini, qadha dan diayanah maupun syariah dan hakikat. Mereka merasa asing dengan pembagian ini, bahkan menolak mentah-mentah pembagian ini, karena mereka kekeuh dengan pendapat salah yang dilontarkan oleh para zindiq dan penganut permissifisme dengan kedok tashawwuf, karamah dan kemuliaan dari Allah.
Aliran pemikiran seperti ini dengan pendapat-pendapatnya yang bathil, dengan idiom-idiom yang menyeleweng dari hakikatnya, tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi orang yang iman kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Ringkas kata, hakikat Islam yang sesungguhnya dalam ibadah adalah, ketika hati dan sikap dhahir atau aktifitas amal saling bersesuaian, berjalan seiring diatas konsep ilahy yang sudah digariskan oleh Al Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Apabila salah satu ditinggalkan maka hasilnya bukan mencerminkan hakikat Islam.
Niscayanya kebersamaan dhahir dan batin ini, melahirkan perbedaan yang tegas antara mukmin dan munafik dalam alam realitas.
Niscayanya kesesuaian antara dhahir dan batin ini, menjadikan jihad dan pengorbanan memiliki makna strategis dalam amal Islami.
Niscayanya kesamaan dhahir dan batin ini, menjadikan umat Islam akan hidup bersatu, kuat dan memiliki izzah, masjid-masjid makmur dengan beragam aktifitas, mimbar-mimbarnya bersinar dengan petunjuk, lisan tak berhenti berdakwah dan ilmu yang tertuang dalam hati maupun kitab menjadi tangga kesuksesannya.
Namun sayang seribu sayang, hati kita sendirilah yang jauh dari kebersamaan ini. Bukanlah sebuah kebersamaan, ketika dhahir kita penuh dengan tipuan, dan batin kita menipu Allah swt. Padahal kita tidak menipu Allah, justru kita telah menipu diri kita sendiri

Maksiat Anggota Tubuh
Mata bermaksiat melihat aurat. Telinga bermaksiat mendengar keburukan lisan, yang menurut Imam Ghazali mempunyai hampir 20 varian. Dusta, menggunjing, menggosip, mengejek, sumpah janji palsu, bicara yang tidak perlu, menfitnah, bersaksi palsu, meratap, memaki, melecehkan, dan lainnya.
Tangan bermaksiat dengan menindas, memukul tanpa hak, membunuh, bekerja sama dengan musuh Allah, menulis yang tidak seharusnya ditulis. Kaki bermaksiat dengan berjalan ke tempat yang diharamkan, menziarahi orang zalim, safar dalam kezaliman. Kemaluan bermaksiat dengan berzina, melakukan amalan kaum Luth, mendatangi perempuan dari tempat yang dilarang.
Perut bermaksiat dengan minum khamr (alkohol), memakan hasil riba, hasil judi, menjual sesuatu yang diharamkan, menyembunyikan barang di pasaran dengan harapan harga menjadi naik, menerima suap, dan lain sebagainya dari memakan harta orang lain dengan batil dan zalim.


Maksiat Yang Membinasakan
Sekali lagi dosa-dosa diatas masih masuk kategori dosa yang nampak dari hasil perbuatan anggota tubuh. Padahal, setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi dosa yang nampak ataupun tidak. Allah SWT berfirman:
وذروا ظاهر الإثم وباطنه إن الذين يكسبون الإثم سيجزون بما كانوا يقترفون
Artinya: “Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.” (Al-An’Am ayat 120)
Sebenarnya, maksiat batin itu lebih dahsyat bahayanya dari maksiat zahir sebagaimana ketaatan hati itu lebih penting daripada ketaatan anggota badan. Bukankah, amalan anggota tubuh tidak akan diterima tanpa amalan hati yaitu niat yang ikhlas?
Maksiat hati itu; sombong, takabur, bangga diri, riya, cinta dunia, cinta harta, hasud, dengki, amarah, dan lain sebagainya yang dinamakan Imam Ghazali dengan “penghancur” sesuai dengan bunyi hadis:
ثلاث مهلكات: شح مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه
Tiga muhlikat (penghancur) adalah: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan takjub terhadap diri sendiri.”

Dosa Hati Lebih Berbahaya
Dosa hati lebih berbahaya dibandingkan yang lainnya, karena:
Pertama, ia langsung berkaitan dengan hati. Qalbu adalah hakekat manusia itu sendiri. Manusia bukanlah sekedar makhluk terbungkus jasmani yang terbuat dari tanah. Hanya makan dan minum tetapi ia menyimpan satu mutiara yaitu ruh, yaitu kalbu, yaitu hati. Berkaitan dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله؛ ألا وهي القلب
Ketahuilah, bahwa di dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik, maka akan baik seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka akan rusak seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.”
إن الله لا ينظر إلى أجسامكم وصوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan bentuk kalian, tetapi Ia melihat pada hati dan amal perbuatan kalian.”
Bahkan satu-satunya  jalan untuk sukses di kehidupan akhirat, adalah selamatnya hati dari penyakit yang membinasakannya. Allah SWT berfirman:
ولا تخزني يوم يبعثون يوم لا ينفع مال ولا بنون  إلا من أتى الله بقلب سليم
dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara ayat 87-89)
Selamatnya hati yakni selamat dari kemusyrikan yang nampak ataupun yang tersembunyi. Selamat dari kemunafikan besar maupun kecil. Selamat dari rasa sombong, hasud, iri dengki dan lain sebagainya.
Ibnu Qoyyim berkata: “selamat dari lima perkara: dari syirik yang bertentangan tauhid, dari bid’ah yang melawan sunnah, dari syahwat yang melawan perintah, dari kelalaian yang melupakan zikir, dan dari hawa nafsu yang menghancurkan keikhlasan”.
Kedua, maksiat hati lebih bahaya karena ia langsung mengarahkan anggota tubuh yang lain untuk melakukannya.
Kufur misalnya, kadang kala didorong oleh rasa hasud didalam hati. Seperti yang terjadi pada kaum yahudi. Firman Allah:
ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Baqarah ayat: 109)
Ia juga mendorong kepada kesombongan seperti yang terjadi pada diri Fir’aun dan pendukungnya:
وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا فانظر كيف كان عاقبة المفسدين
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An-Naml: ayat 14)
Demikian pula hasud dan iri dengki dalam hati bahkan bisa membuat pelakunya tega menghabisi nyawa orang lain seperti yang terjadi pada kisah Habil dan Qabil:
إذ قربا قربانا فتقبل من أحدهما ولم يتقبل من الآخر قال لأقتلنك قال إنما يتقبل الله من المتقين
Ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!.” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: ayat 27)
Ketiga, pada kebiasaanya, dosa dan maksiat yang zahir sebabnya adalah lemahnya iman dan sifat alpa sehingga pelakunya mudah untuk segera melakukan taubat. Berbeda dengan dosa akibat hati yang rusak.
Dosa yang dilakukan Adam as dan Hawa karena lalai dan termakan tipuan Iblis yang merayu untuk memakan buah khuldi yang dilarang. Oleh itu, mereka berdua segera menyadari kesalahan dan cepat-cepat meminta ampun pada Allah swt.
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS: Al-A’raf ayat 23)
Akibatnya, Allah swt dengan mudah memaafkan dan menerima taubat mereka:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم
“Keduanya berkata: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah ayat 37)
Ini berbeda dengan Iblis. Dosa yang dilakukannya adalah dosa hati, yaitu abai pada perintah Allah dan menyombongkan dirinya.
قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي أستكبرت أم كنت من العالين قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين
“Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?.” (QS. Shad ayat 75-76)
Oleh itu, balasan bagi Iblis adalah:
قال فاخرج منها فإنك رجيم وإن عليك اللعنة إلى يوم الدين
Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” (QS. Shad ayat 77-78)
Keempat, ganjaran bagi pelaku maksiat hati lebih dahsyat daripada pelaku maksiat anggota tubuh.
Rasulullah saw bersabda:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat biji zarrah.”
Demikian pula Nabi SAW mengatakan “jangan marah” sebanyak tiga kali kepada sahabat yang meminta wasiat kepada beliau.
Hampir  sebagian besar dari kita, mengenal dosa dan maksiat hanyalah hasil perbuatan  anggota tubuh. Perbuatan panca indra. Maksiat tangan dan kaki, mata dan telinga, lidah dan hidung, dan sebagainya. Pada intinya tidak jauh-jauh dengan syahwat perut dan kemaluan.
Pernahkah kita berfikir bahwa ada dosa dan maksiat yang sumbernya dari hati atau ‘qalb’. Yang tak nampak oleh mata, tak terdengar di telinga, tak tersentuh dengan tangan, tak tercium melalui hidung dan tak terasa di lidah.



FUNGSI AL QURAN
Menurut pendapat Subhi Shalih, Al Quran berarti bacaan. Yang merupakan kata turunan atau masdar Qara’a ( fiil Madhi) dengan arti isim Al Maf’ul taitu  Maqru’ yang artinya dibaca. Kata Al Quran selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Para ahli tafsir bersilang penndapat mengenai penamaan Al Quran. Pemberian nama Al Quran yang begitu banyak tidak di setujui oleh sebagian ulama’. Dari sudt isi atau subtansinya, fungsi Al Quran sebagai tersusun dalam nama-namanya antara lain:
a)     Al Huda (petunjuk), yaitu petunjuk bagi manusia secara umum, Al Quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
b)     Al furqan (pemisah), yaitu untuk membedakan dan memisahkan antar yang haq dan yang bathil.
c)     As Syifa’ (obat), yaitu sebagai obat berbagai penyakit yang ada dalam dada (psikologis).
d)     Al Mauidzah (nasihat), yaitu naishat bagi orang-orang yang bertaqwa.
ULUMUL QURAN DAN TAFSIR.
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al Quran tidak di turunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa Al Quran tidak hampa sosial melainkan merupakan jawaban dari persoalan yang melanda kehidupan manusia. Cara Allah SWT menurunkan Al Quran kepada Nabi Muhammad SAW adalah :
1)     Malaikat memasukan wahyu kedalam hati Nabi Muhammad.
2)     Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammadberupa seorang laki-laki.
3)     Malaikat menampakkan dirinya dalam rupa yang asli.
4)     Wahyu datang kepada Nabi Muhammad seperti egmerincingnya lonceng.
Penulisan Al Quran pad zaman Nabi masih berserakan dalam bentuk tulisan diatas pelepah daun kurma, lempengan batu, kepingan tulang, dan lainya terpelihara dalam hafalan para sahabat. Namun, pada zaman Abu Bakar, para penghafal banyak yang gugr di medan perang,sehingga atas usul Umar bin Khattab, ayat-ayat yang berceceran dihimpun dalam sebuah mushaf. Mushaf hasil kerja tim kemudian di jadikan mushaf standar penilisan dan percetakan pada tahun berikutnya.
Al Quran merupakan kitab suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk, tidak hanya umat islam tetapi bagi seluruh umat manusia, dan memuat aturan dan ajaran yang meliputi berbagai dimensi kehidupan. Pesan-pesan yang terkandung dalam Al Quran ialah Tauhid, Ibadah, Jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta riwayat cerita sejarah orang terdahulu.
Ilmu bantu untuk memahami Al Quran diantaranya :
‘Ulum Al Quran, pembahasanya adallah mengenai ayat-ayat Makiyyah, Madaniyyah, Asbabul Nuzul, I’rab  Quran dan Qira’ah.
Tafsir, berarti secara bahasa ialah penjelasan atau katarangan. Secara istilah, Ilmu yang membahas melafalkan lafad-lafad Al Quran serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan Dilalah yang Zhahrir sebatas kemampuan manusia.

Penafsiran Ilmiah Al-Qur'an


            Al-Quran Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai "Petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya" (QS 17:9) demi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad saw. (QS 16:44; 4:105, dan sebagainya).

            Di samping itu, Al-Quran juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al-Quran (QS 39:18; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran Ilahi, juga untuk menemukan alternatif-alternatif baru melalui pengintegrasian ayat-ayat tersebut dengan perkembangan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip pokok ajarannya (Al-Ushul Al-Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al-Quran, bahwa:

 
           Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga terbukti bahwa ia (Al-Quran) adalah benar (baca QS 41:53).

b. Fungsi diturunkannya Kitab Suci kepada para Nabi (tentunya terutama Al-Quran), adalah untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat (baca QS 2:213).

Perkembangan Penafsiran Ilmiah

Dalam rangka pembuktian tentang kebenaran Al-Quran, wahyu Ilahi ini telah mengajukan tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun "semisal" Al-Quran. Tantangan tersebut datang secara bertahap:

a. Seluruh Al-Quran (QS 17:88; 52:34).

b. Sepuluh surah saja dari 114 surahnya (QS 11:13).

c. Satu surah saja (QS 10:38).

d. Lebih kurang semisal satu surah saja (QS 2:23).76

            Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat dalam Al-Quran,77 salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.

            Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum Muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan Al-Quran, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu Ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya "pemaksaan-pemaksaan" dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al-Quran, dan bukan sebaliknya.

            Corak penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun (w. 853 M), akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Namun, agaknya, tokoh yang paling gigih mendukung ide tersebut adalah Al-Ghazali (w. 1059 - 1111 M)78 yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur'an mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: "Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim."79

            Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af'al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan Al-Quran menjelaskan tentang Zat, af'al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Quran terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya.80 Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, "Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku" (QS 26:80).

            "Obat" dan "penyakit", menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.

            Agaknya, ulasan yang dikemukakan ini sukar untuk dipahami, karena, walaupun diyakini ilmu Tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-Nya telah dituangkan dalam Al-Quran? Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya? Tentulah berbeda antara ilmu dan "kalam". Karenanya, tidak semua yang diketahui itu diucapkan.
            Dalam Al-Quran ditemukan kata-kata "ilmu" --dalam berbagai bentuknya-- yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain:

1. Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) Taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).
2. Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
3. Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain QS 21:37).
4. Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7:146).



Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain:

1. Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca, antara lain, QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS 10:39).
2. Jangan menilai sesuatu karena faktor eksternal apa pun --walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw.

            Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Quran tentang alam raya dan fenomenanya:

1. Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Tuhan. Dari perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
2. Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemennya tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya ketepatan-ketepatan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum alam).
3. Redaksi yang digunakan oleh Al-Quran dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing."89

Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu menggaris
bawahi beberapa prinsip pokok:

a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.

b. Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus untuk orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran dan dituntut untuk menggunakan akalnya.

c. Berpikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Quran secara spekulatif90 atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli di bidang ini.

Nah, kaitan prinsip ini dengan penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah.
1. Bahasa

            Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.

            Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran.91 Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita --yang hidup pada masa kini-- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.
            Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber sinar matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber dari sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang --dalam berbagai bentuknya-- sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.94

2. Konteks antara Kata atau Ayat

            Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Seseorang yang tidak memperhatikan hubungan antara arsalna al-riyah lawaqi' dengan fa anzalna min aisama' ma'a (QS 15:22), yakni hubungan antara lawaqi' dan ma'a akan menerjemahkan dan memahami arti lawaqi' dengan "mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)".100 Namun, bila diperhatikan dengan seksama bahwa kata tersebut berhubungan dengan kalimat berikutnya, maka hubungan sebab dan akibat atau hubungan kronologis yang dipahami dari huruf fa pada fa anzalna tentunya pengertian "mengawinkan tumbuh-tumbuhan", melalui argumentasi tersebut, tidak akan dibenarkan. Karena, tidak ada hubungan sebab dan akibat antara perkawinan tumbuh-tumbuhan dengan turunnya hujan --juga "jika pengertian itu yang dikandung oleh arti fa anzalna min al-sama' ma'a", maka tentunya lanjutan ayat tadi adalah "maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan siaplah buahnya untuk dimakan manusia".


            Ada yang menyatakan bahwa ayat 33 surah Al-Rahman telah mengisyaratkan kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar. Tapi dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, khususnya dengan ayat 35,  Kepada kamu (Jin dan Manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak akan dapat menyelamatkan diri, maka pemahamannya itu hendaknya ditinjau kembali agar ia tidak terperangkap oleh suatu kemungkinan tuduhan adanya kontradiksi antara dua ayat: ayat 33, berbicara tentang kemampuan manusia menjelajahi angkasa luar, sedangkan ayat 35, menegaskan ketidakmampuannya.

            Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang dibahas itu.104
3. Sifat Penemuan Ilmiah

            Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al-Quran dapat berbeda-beda.

            Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran.

            Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran --seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan semula-- tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


PENUTUP

A. KESIMPULAN

           

B. SARAN

Dalam pembuatan makalah ini, pemakalah menyadari masih terdapat kekurangan dan kesalahan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan yang pemakalah miliki. oleh sebab itu, pemakalah meminta kritikan dan saran dari para pembaca.


0 komentar:

Posting Komentar